Kali ini ramadhan dan lebaran berbeda dengan tahun sebelumnya. Sedikit berbeda untuk ku, namun mungkin bagi sebagian orang yang masih bertahan di tanah rantau akan menjadi sangat berbeda. Banyak hikmah yang dapat kita ambil dari semua ini. Beberapa orang merasa berkumpul bersama keluarga besar adalah satu hal yang paling ditunggu, apalagi di tengah momen lebaran. Beberapa yang lain merasa berkumpul bersama keluarga besar adalah satu hal yang ingin dihindari. Banyak sekali alasan yang melatarbelakangi hal tersebut. Itulah mengapa ku bilang banyak hikmah yang bisa kita ambil.
Aku adalah bagian dari orang yang merasa berkumpul bersama keluarga besar adalah satu hal yang ingin dihindari. Oleh karena itu, lebaran di tengah pandemi ini ku habiskan waktu lebih banyak sendiri, merenungi apa yang sudah ku capai dan apa yang perlu diperbaiki, mencoba untuk lebih mengenal diri. Aku melakukan apa yang harusnya ku lakukan sejak dulu, yakni bersilaturahmi dengan diri sendiri sebelum bersilaturahmi dengan orang lain. Benarkah aku sudah memaafkan mereka hanya dengan kata maaf di momen lebaran ini? Lalu untuk apa sebenarnya ku rayakan Idul Fitri? Mengapa begitu menjadi momen yang paling ditunggu-tunggu?
Rasanya kita lupa terhadap makna dari hari raya Idul Fitri itu sendiri. Aku sempatkan membaca artikel, karena secara pribadi pun aku kurang pandai agama. Khawatir salah tafsir, aku juga bertanya pada beberapa teman. Intinya, ramadhan dan Idul Fitri, bertepatan dengan Perang Badar, perang besar pertama antara umat muslim dengan Pasukan Quraisy yang secara jumlah pasukan lebih banyak. Mengapa hal ini menjadi spesial? Karena saat itu perintah berpuasa pertama juga tengah dilangsungkan. Bayangkan, selain menahan haus, lapar, panas, mereka juga harus menghadapi perang yang beratnya luar biasa.
Oleh karena itu, ketika kemenangan ada di tangan kaum muslimin, mereka sangat ingin merayakannya, yang waktu itu biasanya digelar dengan pesta pora. Pada saat itulah Nabi bersabda, “sesungguhnya Allah mengganti kedua hari raya itu dengan hari raya yang lebih baik, yakni Idul Fitri dan Idul Adha”. Nah, puasa pertama dan kemenangan Perang Badar inilah yang menjadi makna tak terpisahkan di balik Hari Raya Idul Fitri. Bagaimana Allah begitu adil dalam mengatur segala hal di muka bumi, semuanya memiliki pasangannya masing-masing, kalah dan menang, sedih dan senang, malam dan pagi dan lain sebagainya.
Pertama kalinya ku ucapkan syukur atas terjadinya pandemi ini, membuatku lebih mengerti makna dari perayaan tahunan yang tak pernah sekalipun ku resapi. Apakah benar kita sudah memaafkan sesama hanya dengan mengucapkan kata maaf? Ataukah bermaaf-maafan itu hanyalah sebatas tradisi dan sarana untuk kegiatan mudik? Apakah benar kita sudah merasa ikhlas atas takdir yang telah Tuhan gariskan pada kita selama ini? Ataukah kita hanya sekedar menjalani hidup bagai air mengalir, tanpa ada perubahan ke arah yang lebih baik? Karena merasa akan bertemu lagi dengan ramadhan dan Idul Fitri di tahun yang akan datang. Sehingga bermaaf-maafan menjadi suatu hal yang lumrah dilakukan. Padahal Allah sudah memberikan kita kemenangan setelah sebulan penuh dilatih untuk lebih bersabar.
Allah ingin kita merdeka dan merayakannya. Mungkin memaafkan dan menerima maaf bukanlah tandingan Perang Badar, namun jika kita berusaha untuk ikhlas memaafkan dan menerima maaf, pun kita patut untuk merayakannya. Langsung ataupun tidak langsung, jika apa yang disampaikan berasal dari hati, maka yakinlah hal tersebut juga akan sampai pada hati, sekalipun di tengah pandemi.
By : Muthi